Rabu, 25 Maret 2020

Satu Pelindung Gue Pergi

..
29 Maret 2014, tepat 6 tahun yang lalu,  Hari terakhir adik gue, Tegar,  ada di dunia ini.  Kira-kira jam 11 malam dia menghembuskan nafasnya yang terakhir,  gue gak liat perjuangan nafas terakhirnya dia. 

1 bulanan sebelum itu,  dia mengeluh sakit dibagian perutnya. Ibu gue bawa dia kerumah sakit untuk diperiksa,  sesampainya di rumah sakit,  dokter check keadaan dia dan dokter bilang dia kemungkinan gejala urus buntu.  Gejala-gejala yang dia rasakan mungkin mirip sama usus buntu. Gue juga gak paham kenapa dokter bilang itu usus buntu. Dan akhirnya dokter ngasih dia obat sebagai pertolongan pertama.  Dan sesampainya dirumah, everything is fine. Tapi sebelum dia check ke dokter,  beberapa minggu sebelumnya dia bilang kalau bagian bawah perut berasa keras dan gue gak tau kenapa.  Orang tua gue cuma bilang,  atur pola makan, nanti magh karena pada dasarnya dia punya pola makan yang sangat berantakan,  sehari bisa makan cuma sekali doang. 

Singkat cerita,  selang beberapa hari dia ngeluh sakit lagi dan dia bener-bener ngeluh sakit,  akhirnya ibu dan kakak gue bawa dia ke dokter spesialis bagian dalam.  Waktu pemeriksaan, dokter itu langsung bilang ada tumor di perutnya dan harus segera dioperasi.  Dia ngasih rujukan ke dokter spesialis dalam lainnya yang bisa menangani masalah ini. 

Waktu itu gue masih di Padang, kuliah. Setelah periksa,  kakak gue telpon dan ngasih tau sakit adik gue,  dan sumpah syok.  Kok bisa anak 16 tahun punya penyakit tumor.  Gak pernah ada pikiran dia bakalan punya tumor kayak gitu.  Gak tau kenapa,  gue sedih sekali waktu itu, berasa ada yang luka,  tapi gak tau dimana.  Gue nangis waktu tau ada tumor di tubuhnya dia.

Pengobatan masih tetap di lakuin.  Kakak gue bawa dia ke dokter rujukan dari dokter sebelumnya.  Waktu konsultasi, dokter itu bilang ada 2 tumor yang ada di bagian perut adik gue,  sebelah kiri dan kanan.  Kalau kakak gue setuju,  hari itu bisa langsung di operasi,  tapi pengangkatan tumor cuma bisa dilakuin untuk 1 tumor aja.  Tanpa adanya ronsen dan persiapan lainnya serta cuma 1 tumor yang diangkat, kakak dan orang tua gue menolak tindakan itu dan mereka minta untuk dirujuk kerumah sakit aja.  

Setelah mendapatkan rujukan,  Adik gue dioper ke rumah sakit di daerah bukittinggi. Keadaan dia udah semakin lemah dan gue belum liat keadaannya dia karena gue masih stay di Padang. 

Adik gue harus bolak balik payakumbuh-bukittinggi buat check kesehatan, ronsen dan prosedur medikal lainnya untuk penanganan tumor ini. Setelah ronsen,  dokter bilang kalau tumor ini ada dua,  kiri dan kanan dan salah satu tumor itu lebih besar dari yang satunya. Diameter salah satu tumor 14 atau 19 cm (gue lupa) dan tumor itu gak ada kantongnya.

Lebih kurang semingguan sebelum dirawat dia bolak balik Payakumbuh-Bukittinggi.  Sebenarnya dia bisa aja tinggal di kosan kakak gue,  tapi ada hal yang gak bisa dilakuin.  Ibu gue pernah cerita, dia gak mau tinggal di kosan kakak gue dan pengen balik ke payakumbuh,  karena dia pengen makan mie ayam. Ibu gue bilang,  "disini kan ada mie ayam yang lain,  kenapa harus ke Payakumbuh?" dan dia kekeh mau ke Payakumbuh aja. 

Jumat, 21 maret 2014, check up terakhir dia sebelum dirawat. Dokter cuma bilang akan dijadwalkan operasi untuk Adik gue,  tapi sekarang bisa pulang dulu,  tapi kalau sakitnya gak tertahan lagi,  bisa langsung dibawa ke rumah sakit lagi.  Dia balik ke Payakumbuh hari itu.  Semuanya masih bisa dia tahan. 

Sabtu,  22 maret 2014. Dia nangis karena gak tahan sama sakitnya.  Orang tua gue bawa dia ke rumah sakit lagi dan akhirnya dia di rawat.  Adik gue gak bisa langsung di operasi karena ada beberapa prosedur yang harus dia jalani. 

Perawatan masih tetap dilakukan,  cek darah tiap hari.  Gue telpon tiap hari tanyain keadaan dia.  Semuanya masih sama, gak ada perubahan. 


Senin malam gue telpon orang tua, dan ada yang lain.  Ibu gue mulai nangis ceritain keadaan Adik gue.  Gue bingung harus apa. Dan akhirnya selasa pagi gue berangkat ke Bukittinggi.

Disitu, gue liat dia pasien terlemah yang ada di ruangan itu.  Dia kurus dan sangat berbeda waktu terakhir gue liat dia.  Karena sebelumnya dia sempat gemuk ala anak-anak baru gede lainnya.  Walaupun lagi lemah,  dia masih sempet becandain gue.  

Semuanya masih sama. Tindakan operasi cuma wacana aja.  Mereka bahkan udah minta kesiapan darah kalau terjadi apa-apa.  Orang-orang udah datang menjenguk dan mendoakan kesehatan tegar. 

Operasi masih belum bisa dilakukan karena adik gue dalam keadaan tensi tinggi.  

Beberapa hari berlalu,  dan akhirnya Dia akan dijadwalkan operasi pada hari sabtu, 29 maret 2014. Malamnya dia harus puasa. 

Gue dan keluarga sangat bahagia sama jadwal ini.  Menurut gue,  dengan selesainya operasi dia bakalan sehat dan pulih kembali.

Malam sebelum operasi dia kepanasan dan minta keluar ruangan.  Kami bawa dia keluar ruangan, menghirup udara segar.  Kami sadar udara malam disana gak begitu bagus, tapi dia kekeh mau ada diluar. Ibu gue sempet sedikit marah sama dia dan akhirnya kami masuk kembali.

Pagi datang.  Hari dimana harusnya adik gue di operasi, menghilangkan sumber penyakitnya.  Dokter ngasih dia baju seragam operasi. 

Kami sangat menanti-nanti hari itu.  Kemudian ibu dan ayah gue di panggil dokter, kami kira itu adalah untuk menanda tangani surat operasi pada umumnya,  ternyata dokter itu bilang mereka harus menunda operasi adik gue karena beberapa hal. Ibu gue nangis. Dan seketika, pagi yang cerah kembali berawan, hujan, badai. Gue frustasi lagi.  Keluarga gue frustasi lagi. Adik gue pun pasrah.

Dokter dan beberapa perawat kembali ngambil sampel darah adik gue,  gue gak tau untuk apa.  Ayah gue yang frustasi,  akhirnya marah marah sama perawat.  Sangat kecewa mungkin. 

Adik gue mengizinkan kami duduk berdekatan dengan dia hari itu,  sebelum-sebelumnya dia tidak pernah mau ada orang lain di dekatnya,  karena gerah.  Pagi itu dia pasrah, seakan akan sudah mau menyerah.  

Gue?  Frustasi tapi gue harus menenangkan orang tua gue.  Pura-pura baik baik saja. 

Adik gue  makin parah,  siangnya dia dibawa ke ruangan HCU. Alat-alat lainnya dipasangkan ke tubuhnya.  Bukan hanya infus dan oksigen. Baju seragam operasi yang diberikan dokter gue buang.  Karena ada perasaan sangat kecewa sama baju itu. 

Diruangan HCU cuma bisa dijaga sama 1 orang saja.  Karena gak ada tempat buat gue, sorenya gue istirahat di kosan kakak bersama dengan temen kakak gue. Gue diantar kakak dan temennya. 

Setelah magrib,  kakak gue ditelpon orang tua karena adik gue nyariin dia dan ternyata dia sudah dipindahkan ke ruangan ICU. Keadaan dia makin drop.

Sebelum tengah malam,  kira kira jam 11 malam,  gue dibangunin temen kakak gue,  ngajak ke rumah sakit.  Pertanyaan gue cuma 1 "tegar kenapa?", gue udah yakin sesuatu pasti terjadi sama dia.  Dan sampai dirumah sakit,  semuanya nangis, ayah, ibu, lemah,  pingsan dan nangis.  Kakak gue nangis dan ditenangkan sama beberapa kerabat lainnya.  Gue? Masih "seakan-akan" baik baik saja.  Gue gak nangis.

Satu pelindung gue, pergi.

Ada yang patah,  tapi gak tau apa, ada batu besar yang dihempaskan ketubuh,  seakan-akan lo kayak ditampar, dipukul, dihantam,  tanpa defense apa-apa, tangan lo gak ada daya buat menutupi muka,  badan lo seakan pasrah, gak ada yang melindungi.  Gue mencoba buat sadar, mengumpulkan nyawa-nyawa yang hampir pergi. Meyakinkan diri untuk tidak menangis, kalut,  everything is fine. Gue liat manusia yang sudah tidak bernyawa itu,  pertama kalinya dihidup gue melihat tubuh tidak bernyawa, dan itu adalah adik laki-laki satu-satunya gue. Adik laki-laki kesayangan kami. Gue cuma bilang "hati-hati disana,  rest in peace".


Setelah semuanya selesai,  tegar bisa di bawa pulang,  sesampainya dirumah,  jam 2an,  semuanya sudah siap,  gue liat satu adik gue lagi, lebih menyedihkan, dia sendiri dengan berita terbangsat yang pernah ada.  Kami dibantu tetangga-tetangga untuk menyiapkan prosesi untuk tegar.

No One can changes if God want things that belongs to Him came back to Him.  Sebagai manusia biasa, gue belum bisa percaya dan ikhlas sama kepulangan dia waktu itu. Terlebih 4 maret adalah ulang tahunnya yang ke 16, dia "pulang" 25 hari setelah ulang tahunnya.

I try to me normal around "crazy" people.  Gue mencoba untuk gak nangis,  pura-pura baik-baik saja, tapi hal itu hal terbrengsek yang pernah gue lakuin. Sampai sekarang luka itu masih ada, masih ternga-nga,  masih berdarah. 

Gue sedikit belajar dari masa sulit itu,  if you wanna cry,  let it be. You deserve to crying if you need to cry.   If it is hard,  tell that it is hard.  Do not pretending that everything is fine. Lo juga manusia, bisa merasakan semua rasa,  termasuk kesedihan.  Lo di izinkan untuk sedih sewajarnya.  ketika sesuatu itu sakit, feel the pain, waktu bakalan nyembuhin luka itu.  Selama ini gue selalu denial, menyakinkan diri gue kalau semuanya baik-baik aja.  Itu salah.


Tumor gak berkantong itu udah sodaraan sama kanker.  Gue masih belum bisa percaya anak 16 tahun kena kanker.  Gue kira akan baik-baik saja, karena dia "terlihat" sangat sehat,  tapi ternyata dia tumbuh bersama kanker aktif ditubuhnya. it kills him slowly at first, dan selama lo gak sadar dia membunuh lo begitu aja. 

6 tahun berlalu, time flies so fast,  tapi gak ada dia detak jam dinding semakin keras terdengar.  life is still cruel without you bro. i wish you have peace in your rest. Alfatihah.  ๐Ÿ™๐Ÿ™ 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Comment

 
Gaeguri Story Blogger Template by Ipietoon Blogger Template